Teknologi Air-to-Ground Janjikan Koneksi Internet Setara 4G di dalam Pesawat
- Kecepatan internet dari teknologi air-to-ground diklaim bisa mencapai 75 Mbps.
- Operator seluler cukup memasang perangkat khusus di menara BTS yang telah dimiliki.
Selama ini ada dua cara yang memungkinkan penumpang pesawat terbang untuk menikmati layanan internet ketika sedang mengudara. Cara pertama adalah menggunakan sistem penerimaan sinyal Wi-Fi berbasis satelit, dan cara kedua menggunakan teknologi air-to-ground.
Sudah ada maskapai penerbangan di Indonesia yang telah menggunakan Wi-Fi berbasis satelit untuk menghadirkan layanan internet bagi para penumpang. Namun belum ada yang memanfaatkan teknologi air-to-ground. Padahal, teknologi yang bisa menghadirkan koneksi internet setara 4G LTE tersebut telah digunakan oleh beberapa maskapai penerbangan di Eropa.
Implementasi terhambat regulasi
Regulasi dinilai menjadi penghambat penggunaan teknologi air-to-ground di tanah air. Menurut Solution Manager Nokia Indonesia, Iman Hirawadi, air-to-ground membutuhkan alokasi frekuensi downlink 2.110-2.170 MHz dan uplink 1.920-1.980 MHz. Karena memakai lebar pita spektrum 15 MHz yang dipakai sendiri, maka teknologi air-to-ground mampu menawarkan kecepatan browsing hingga 75 Mbps.
“Intinya spektrum air-to-ground berbeda dengan yang digunakan layanan 4G untuk smartphone. Di Indonesia, spektrum ini belum dialokasikan karena belum ada aturannya. Kalau pemerintah ingin mengalokasikan spektrum ini, mungkin bisa dipertimbangkan teknologi air-to-ground,” ujar Iman kepada Tech in Asia Indonesia.
Cara kerja teknologi air-to-ground
Untuk menerapkan teknologi air-to-ground, operator penyedia layanan telekomunikasi harus menembakkan sinyal LTE ke udara. Sinyal tersebut akan ditangkap oleh sebuah antena yang terletak di luar badan pesawat, untuk kemudian disebarkan di dalam kabin menggunakan Wi-Fi.
Algoritme teknologi air-to-ground, kata Iman, sudah dimodifikasi agar mampu mengikuti kecepatan pesawat yang melesat hingga 1.200 kilometer per jam. “Kalau LTE di darat, biasanya hanya bisa mengikuti kecepatan 200-300 kilometer per jam,” ucapnya. Iman pun menjelaskan kalau operator telekomunikasi di Indonesia bisa langsung memasang peralatan air-to-ground di menara base transceiver station (BTS) yang mereka miliki.
Sebagai gambaran, sebuah peralatan air-to-ground memiliki radius sinyal yang bisa menjangkau wilayah seluas 22.500 kilometer persegi. Oleh karena itu, untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai luas 1,9 juta kilometer persegi, maka para operator hanya perlu memasang sekitar 85 peralatan air-to-ground.
Tak bisa diimplementasikan di atas samudera luas
Iman menuturkan jika untuk kebutuhan dalam negeri sendiri, sinyal air-to-ground mungkin masih bisa ditangkap oleh pesawat jika melintasi perairan Indonesia. “Tapi kalau melintas lautan lepas, seperti Samudera Pasifik, akan blind spot. Kalau sudah begitu, harus pakai satelit lagi,” jelasnya.
Saat melintasi negara lain yang mendukung air-to-ground, maka penghitungan tarifnya seperti memakai roaming. Namun hal itu merupakan urusan operator dan maskapai yang menyediakan fasilitas air-to-ground. Sedangkan dari sisi konsumen, mereka tetap menikmati sinyal Wi-Fi seperti biasa ketika berada di dalam pesawat.
“Untuk menggunakan air-to-ground, prosedurnya sama terkait keselamatan penerbangan. air-to-ground tak boleh digunakan saat take off dan landing. Teknologi ini baru boleh dipakai saat pesawat minimal mencapai ketinggian 10.000 kaki,” ujarnya.
Menarik ditunggu apakah air-to-ground ini nantinya akan menjadi teknologi yang populer di tanah air, mengingat in-flight entertainment di pesawat dan kereta api kini telah menjadi salah satu bisnis yang cukup menjanjikan. Di Indonesia bahkan telah ada startup seperti HaloHola yang fokus menghadirkan konten hiburan di kereta api.
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
Komentar
Posting Komentar